Kamu sudah hire agensi digital yang terlihat berpengalaman. Timnya solid, report-nya rapi, dan campaign-nya pun berjalan sesuai rencana. Tapi entah kenapa, hasil akhirnya tetap nggak sesuai ekspektasi. Engagement rendah, trafik naik tapi sales stagnan, dan kamu mulai bertanya-tanya:
“Apa agensinya yang kurang bagus?”
Bisa jadi, iya. Tak bisa dipungkiri memang ada agensi yang kurang kompeten. Tapi kalau kamu sudah bekerja dengan agensi yang profesional, punya tim yang paham data dan strategi, lalu campaign tetap tidak berhasil… maka mungkin ada hal lain yang menyebabkan campaign kamu gagal.
Lalu, kenapa kerja sama dengan agensi digital bisa gagal?
Ini adalah perspektif saya, yang pernah berada di dua sisi, baik sebagai klien maupun kini sebagai digital agency.
Kenapa Kerja Sama dengan Agensi Digital Gagal?
1. Ketidakpahaman Role dari Agensi Digital
Banyak brand datang ke agensi dengan ekspektasi bahwa semuanya akan dibereskan. Padahal agensi digital, sekompeten apapun mereka, tidak bisa mengubah arah bisnis tanpa pondasi yang kuat dari klien.
Ada dua peran besar yang bisa dipegang agensi: otak (strategi) atau tangan (eksekusi). Dan sebagian besar campaign gagal karena kedua peran ini tidak pernah didefinisikan dengan jelas sejak awal.
Ketika Kamu Butuh Agensi Sebagai “Otak”
Kalau kamu belum punya arah yang solid, belum tahu siapa target pasar paling potensial, pesan utama brand, atau channel paling efektif (tidak memahami digital marketing) artinya kamu butuh agensi yang dapat berpikir strategis. Mereka akan membantu kamu membangun kerangka dan strategi yang tepat sebelum campaign berjalan.
Agensi digital yang kuat di sisi strategi biasanya menawarkan harga yang lebih tinggi, karena yang mereka jual bukan sekadar “jasa menjalankan campaign”, tapi juga ‘cara berpikir’ dan ‘pendekatan bisnis’ secara menyeluruh.
Kerja sama dengan agensi digital gagal ketika brand yang sebenarnya butuh strategist justru memperlakukan agensi seperti vendor eksekusi. Arah sering berubah di tengah jalan, keputusan diambil berdasarkan opini, bukan data, dan strategi kehilangan konsistensi.
Contohnya:
Kami pernah menemani sebuah brand yang datang tanpa positioning yang jelas. Kami bantu rumuskan arah strategi digitalnya. Tapi setiap kali ide dijalankan, selalu ada perubahan berdasarkan opini internal, bukan hasil analisa. Akhirnya campaign tidak pernah punya arah utuh, dan hasilnya pun tidak maksimal.
Strategi digital itu seperti peta jalan. Kalau kamu ubah arah di setiap tikungan, jangan kaget kalau kamu nggak pernah sampai tujuan.
Ketika Agensi Berperan Sebagai “Executor”
Sebaliknya, kalau kamu sudah punya strategi matang dan butuh tim yang bisa mengeksekusi dengan presisi, berarti kamu memerlukan agensi untuk peran sebagai eksekutor. Pada situasi ini, agensi akan menjalankan rencana yang sudah kamu buat, seperti membuat konten, menjalankan iklan, hingga optimasi harian.
Masalahnya, banyak brand tetap menilai hasil kerja agensi eksekutor dari hasil bisnis akhir seperti sales atau revenue. Padahal tanggung jawab utama mereka adalah menjalankan taktik dengan benar, bukan mengubah arah bisnis yang sudah ditentukan.
Jadi ketika campaign gagal, tanggung jawab agensi pada posisi ini hanyalah sebatas deliverables, bukan business metrics.
Contohnya:
Sebuah brand sudah punya strategi internal yang kuat. Kami hanya bantu mengeksekusi iklan dan konten sesuai plan. Tapi di akhir campaign, sales tidak naik. Setelah ditelusuri, ternyata pesan utama brand mereka kurang relevan dengan audiens target. Strateginya yang perlu disesuaikan, bukan eksekusinya yang salah.
Dibandingkan tipe agensi sebelumnya, agensi yang hanya menawarkan jasa eksekusi biasanya memasang harga lebih terjangkau. Tapi brand perlu berhati-hati, karena tak sedikit agensi yang menambahkan embel-embel “strategi” padahal yang diberikan hanyalah ‘template execution’.
Dan Kadang, Kesalahpahaman Peran Itu Datang dari Sisi Agensi
Saya juga harus jujur, tidak semua kesalahan datang dari klien. Banyak agensi, termasuk kami di masa awal, terlalu berusaha menyenangkan klien. Akhirnya banyak yang berubah menjadi “yes man” terhadap setiap permintaan, bahkan ketika tahu keputusan itu akan menurunkan performa campaign.
Campaign jadi tidak fokus. Bukan karena agensinya tidak mampu, tapi karena perannya sebagai strategist atau konsultan sudah tidak maksimal.
Pada akhirnya, untuk menghindari kerja sama dengan digital agency gagal, sebagai brand kamu perlu teliti dalam menentukan agency seperti apa yang dibutuhkan. Apakah kamu membutuhkan bantuan dalam membangun strategi, atau hanya membutuhkan support eksekusi? Dan setelah mengetahui kebutuhan, pastikan kedua belah pihak menjalankan peran masing-masing sesuai kapasitasnya.

2. Salah Channel, Salah Momentum
Satu hal yang sering dilupakan: tidak semua channel cocok untuk semua jenis produk. Contohnya:
- SEO cocok untuk jangka panjang dan ideal untuk produk dengan proses pertimbangan tinggi (misalnya jasa, software, atau edukasi).
- Media sosial (Instagram atau TikTok) lebih efektif membangun awareness dan emosi, cocok untuk produk lifestyle, fashion, atau F&B.
- Paid Ads bekerja cepat untuk exposure, tapi butuh strategi funnel yang matang agar tidak boros.
- Email Marketing / CRM sangat kuat untuk retensi pelanggan, tapi baru efektif kalau kamu sudah punya basis audiens.
Contohnya:
Satu brand fashion ingin meningkatkan traffic lewat SEO. Masalahnya, audiens mereka justru lebih banyak menemukan inspirasi lewat sosial media, bukan lewat pencarian Google. Akhirnya traffic meningkat, tapi conversion rate tetap rendah.
Bukan karena SEO-nya gagal, tapi karena channel-nya bukan jalur alami bagi audiens mereka. Channel yang salah bukan berarti tools-nya jelek, tapi karena konteksnya tidak sesuai.
Tak sedikit agensi digital menawarkan jasa ekspertis mereka ke produk yang sebenarnya tidak membutuhkan channel tersebut. Sebagai Brand, kamu juga memerlukan riset mendalam sebelum memutuskan mengoptimasi sebuah channel marketing sebelum memutuskan untuk kerja sama dengan agensi digital.
3. Ekspektasi yang Tidak Selaras Adalah Sumber Kegagalan Paling Umum
Campaign digital bukan hanya soal hasil, tapi juga soal arah dan ekspektasi. Banyak campaign gagal karena kedua pihak, baik brand dan agensi, tidak pernah duduk bersama untuk mendefinisikan “keberhasilan”.
Beberapa pertanyaan sederhana yang sering terlewat:
- Apakah tujuan campaign ini awareness, leads, atau sales?
- Siapa yang bertanggung jawab di tiap tahap funnel?
- Apakah KPI-nya berbasis deliverables atau impact bisnis?
Kalau hal-hal mendasar ini tidak dibicarakan sejak awal, maka hasil akhirnya hampir pasti membingungkan. Campaign yang sukses bukan yang langsung viral, tapi yang dijalankan dengan ekspektasi dan peran yang jelas dari dua sisi.

Cara Menghindari Kegagalan Saat Bekerja dengan Agensi
Sebelum kamu memutuskan bekerja sama, coba evaluasi tiga hal sederhana ini:
- Pahami dulu apa yang kamu butuhkan: strategi, eksekusi, atau keduanya?
- Bangun komunikasi terbuka: bukan hanya soal laporan, tapi soal feedback dua arah.
- Berikan ruang untuk berpikir: agensi butuh waktu dan ruang untuk menghasilkan strategi, bukan hanya sekadar mengeksekusi perintah.
Dengan begitu, kamu bukan hanya menyewa agensi digital, tapi membangun kolaborasi yang sehat.
Ketika Campaign Tetap Tidak Berhasil
Kita harus realistis: bahkan dengan agensi terbaik dan strategi paling matang pun, risiko gagal selalu ada. Pasar bisa berubah cepat, tren bisa bergeser, dan algoritma bisa membuat hasil tidak terduga.
Tapi kalau kamu menjalankan campaign dengan arah yang jelas, komunikasi yang terbuka, dan proses yang terukur, kegagalan itu bukan akhir, tapi bagian dari proses belajar.
Yang tak kalah berharga dari campaign yang sukses adalah wawasan yang kamu dapat saat gagal. Kegagalan yang memberi insight akan selalu mengarahkanmu lebih dekat ke keberhasilan berikutnya.
Bangun Kerja Sama dengan Agensi dalam Bentuk Kolaborasi, Bukan Sekadar Kontrak
Hubungan brand dan agensi digital seharusnya bukan seperti vendor dan klien, tapi seperti dua tim yang mengejar tujuan yang sama. Ketika peran, ekspektasi, dan arah sudah jelas sejak awal, hasil campaign akan jauh lebih terarah, bahkan kalau gagal pun, kamu tetap menang dalam hal pemahaman dan pembelajaran.
Karena di dunia digital marketing, yang penting bukan seberapa sering kamu berhasil, tapi seberapa cepat kamu belajar dari yang belum berhasil.
Tentang DRECT Digital
DRECT DIGITAL adalah agensi digital yang berfokus membantu brand membangun kehadiran dan pertumbuhan di dunia online secara strategis. Kami percaya bahwa digitalisasi bukan sekadar mengikuti tren, melainkan cara untuk menciptakan dampak nyata bagi bisnis.
Melalui pendekatan berbasis data, kreativitas, serta pengalaman lintas industri, DRECT Digital menghadirkan solusi relevan, mulai dari strategi digital, pengembangan website dan media sosial hingga optimasi digital marketing yang berdampak pada bisnis.

